26 October 2017

Kemanakah Ruh Kita setelah Mati??

Kemanakah Ruh Kita setelah Mati??
Dari Al-Barrak bin Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Kami pernah mengiringi jenazah orang anshar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampainya di kuburan, dan menunggu liang lahatnya dibenahi, Rasulullah duduk menghadap kiblat. Kamipun duduk di sekitar beliau dengan khusyu, seolah di kepala kami ada burung.

Di tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada ranting, beliau tusukkan ke tanah kemudian beliau menengadah ke langit lalu beliau menunduk. Beliau ulang tiga kali. Kemudian beliau bersabda,

استعيذوا بالله من عذاب القبر، مرتين، أو ثلاثا، (ثم قال: اللهم إني أعوذ بك من عذاب القبر) (ثلاثا)
“Mintalah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur.” Beliau ulangi dua atau tiga kali. Kemudian beliau berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.” (tiga kali).

Kemudian beliau menceritakan proses perjalanan ruh mukmin dan kafir.

Sesungguhnya hamba yang beriman ketika hendak meninggalkan dunia dan menuju akhirat, turunlah malaikat dari langit, wajahnya putih, wajahnya seperti matahari. Mereka membawa kafan dari surga dan hanuth (minyak wangi) dari surga. Merekapun duduk di sekitar mayit sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut ‘alaihis salam. Dia duduk di samping kepalanya, dan mengatakan, ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan ridha-Nya.’ Keluarlah ruh itu dari jasad, sebagaimana tetesan air keluar dari mulut ceret, dan langsung dipegang malaikat maut. Para malaikat yang lain tidak meninggalkan walaupun sekejap, dan mereka langsung mengambilnya dari malaikat maut.

Mereka memberinya kafan dan hanuth itu. Keluarlah ruh itu dengan sangat wangi seperti bau parfum paling wangi yang pernah ada di bumi. Para malaikat inipun naik membawa ruh itu. Setiap kali ketemu dengan malaikat yang lain, mereka akan bertanya: ‘Ruh siapakah yang baik ini?’ Mereka menjawab, ‘Fulan bin Polan’ – dengan nama terbaik yang pernah dia gunakan di dunia –. Hingga sampai di langit dunia. Mereka minta agar pintu langit dibukakan, lalu dibukakan. Mereka naik menuju langit berikutnya, dan diikuti para malaikat langit dunia. Hingga sampai di langit ketujuh. Kemudian Allah berfirman, ‘Tulis catatan amal hamba-Ku di Illiyin.’

“Tahukah kamu Apakah ‘Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, Disaksikan oleh para malaikat”

“Kembalikan hamba-Ku ke bumi, karena dari bumi Aku ciptakan mereka, ke bumi Aku kembalikan mereka, dan dari bumi Aku bangkitkan mereka untuk kedua kalinya.” Maka dikembalikanlah ruhnya ke jasadnya. Kemudian mayit mendengar suara sandal orang yang mengantarkan jenazahnya sewaktu mereka pulang setelah pemakaman.

Kemudian datanglah dua malaikat yang keras gertakannya. (dalam riwayat lain: warnanya hitam biru) Lalu mereka menggertaknya, dan mendudukkan si mayit.

Mereka bertanya: ‘Siapa Rabmu?’ Si mukmin menjawab, ‘Rabku Allah.’ ‘Apa agamamu?’, tanya malaikat. ‘Agamaku islam’ jawab si mukmin. ‘Siapakah orang yang diutus di tengah kalian?’ Si Mukmin menjawab, ‘Dia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Sang malaikat bertanya lagi, ‘Bagaimana amalmu?’ Jawab Mukmin, ‘Saya membaca kitab Allah, saya mengimaninya dan membenarkannya.’

Pertanyaan malaikat: ‘Siapa Rabmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?’ Inilah ujian terakhir yang akan diterima seorang mukmin. Allah memberikan keteguhan bagi mukmin untuk menjawabnya, seperti firman-Nya,

يُثَبتُ اللهُ الذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..” (QS. Ibrahim: 27)

Sehingga dia bisa menjawab: Rabku Allah, agamaku islam, Nabiku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tiba-tiba ada suara dari atas, “Hambaku benar, bentangkan untuknya surga, beri pakaian surga, bukakan pintu surga untuknya.” Diapun mendapatkan angin surga dan wanginya surga, dan kuburannya diluaskan sejauh mata memandang.

Kemudian datanglah orang yang wajahnya sangat bagus, pakaiannya bagus, baunya wangi. Dia mengatakan, ‘Kabar gembira dengan sesuatu yang menyenangkanmu. Kabar gembira dengan ridha Allah dan surga nan penuh kenikmatan abadi. Inilah hari yang dulu kamu dijanjikan.’ Si mayit dengan keheranan bertanya, ‘Semoga Allah juga memberi kabar gembira untuk anda. Siapa anda, wajah anda mendatangkan kebaikan?’ Orang yang berwajah bagus ini menjawab, ‘Saya amal sholehmu.’ [suhnahallah.., amal shaleh yang menemani kita di kesepian, menemani kita di kuburan]

Kemudian dibukakan untuknya pintu surga dan pintu neraka. Ketika melihat ke neraka, disampaikan kepadanya: ‘Itulah tempatmu jika kamu bermaksiat kepada Allah. Dan Allah gantikan kamu dengan tempat yang itu.’ Kemudian si mayit menoleh ke arah surga.

Melihat janji surga, si mayit berdoa: ‘Wahai Rabku, segerakanlah kiamat, agar aku bisa berjumpa kembali ke keluarga dan hartaku.’ Lalu disampaikan kepadanya: ‘Tenanglah.’

Sementara hamba yang kafir, ketika hendak meninggalkan dunia dan menuju akhirat, turunlah para malaikat dari langit, yang bengis dan keras, wajahnya hitam, mereka membawa Masuh (kain yang tidak nyaman digunakan) dari neraka. Mereka duduk di sekitar mayit sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut, dan duduk di samping kepalanya. Dia memanggil, ‘Wahai jiwa yang busuk, keluarlah menuju murka Allah.’

Ruhnya ketakutan, dan terpencar ke suluruh ujung tubuhnya. Lalu malaikat maut menariknya, sebagaimana gancu bercabang banyak ditarik dari wol yang basah. Sehingga membuat putus pembuluh darah dan ruang tulang. Dan langsung dipegang malaikat maut. Para malaikat yang lain tidak meninggalkan walaupun sekejap, dan mereka langsung mengambilnya dari malaikat maut. Kemudian diberi masuh yang mereka bawa. Ruh ini keluar dengan membawa bau yang sangat busuk, seperti busuknya bau bangkai yang pernah ada di muka bumi. Merekapun naik membawa ruh ini. Setiap kali mereka melewati malaikat, malaikat itupun bertanya, ‘Ruh siapah yang buruk ini?’ Mereka menjawab, ‘Fulan bin Fulan.’ – dengan nama yang paling buruk yang pernah dia gunakan ketika di dunia – hingga mereka sampai di langit dunia. Kemudian mereka minta dibukakan, namun tidak dibukakan. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,

لَا تُفَتحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنةَ حَتى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَم الْخِيَاطِ
(Orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya), tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. (QS. Al-A’raf: 40)

Kemudian Allah berfirman, ‘Tulis catatan amal hamba-Ku di Sijjin, di bumi yang paling dasar.’ Kemudian dikatakan, ‘Kembalikan hamba-Ku ke bumi, karena Aku telah menjanjikan bahwa dari bumi Aku ciptakan mereka, ke bumi Aku kembalikan mereka, dan dari bumi Aku bangkitkan mereka untuk kedua kalinya.’ Kemudian ruhnya dilempar hingga jatuh di jasadnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنمَا خَر مِنَ السمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الريحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS. Al-Haj: 31)

Kemudian ruhnya dikembalikan ke jasadnya, sehingga dia mendengar suara sandal orang mengiringi jenazahnya ketika pulang meninggalkan kuburan. Kemudian datanglah dua malaikat, gertakannya keras. Merekapun menggertak si mayit dan mendudukkannya. Mereka bertanya: ‘Siapa Rabmu?’ Si kafir menjawab, ‘hah..hah.. saya gak tahu.’ ‘Apa agamamu?’, tanya malaikat. ‘hah..hah.. saya gak tahu,’ jawab si kafir. ‘Siapakah orang yang diutus di tengah kalian?’ Si kafir tidak kuasa menyebut namannya. Lalu dia digertak: “Namanya Muhammad!!”, si kafir hanya bisa mengatakan, ‘hah..hah.. saya gak tahu. Saya cuma mendengar orang-orang bilang seperti itu.’ Diapun digertak lagi: “Kamu tidak tahu dan tidak mau tahu.” Tiba-tiba ada suara dari atas, “Hambaku dusta, bentangkan untuknya neraka, bukakan pintu neraka untuknya.”

Diapun mendapatkan panasnya neraka dan racun neraka. Kuburnya disempitkan hingga tulang-tulangnya berserakan. Lalu datanglah orang yang wajahnya sangat buruk, berbaju jelek, baunya seperti bangkai. Dia mengatakan: ‘Kabar buruk untukmu, inilah hari dimana dulu kau dijanjikan.’ Si mayit kafirpun menjawab, ‘Kabar buruk juga untukmu, siapa kamu? Wajahmu mendatangkan keburukan.’ Orang ini menjawab, ‘Saya amalmu yang buruk.’ – Allahul musta’an, amal buruk itu semakin menyesakkan pelakunya di lahatnya – kemudian dia diserahkan kepada makhluk yang buta, tuli, dan bisu. Dia membawa pentungan! Andaikan dipukulkan ke gunung, niscaya akan jadi debu. Kemudian benda itu dipukulkan ke mayit kafir, dan dia menjadi debu. Lalu Allah kembalikan seperti semula, dan diapun memukulnya lagi. Dia berteriak sangat keras, bisa didengar oleh semua makhluk, kecuali jin dan manusia. Lalu dibukakan untuknya neraka dan disiampkan tempatnya di neraka. Diapun memohon: ‘Ya rab, jangan Engkau tegakkan kiamat.’

Hadis ini diriwayatkan Ahmad 18543, Abu Daud 4753, Syuaib Al-Arnauth menyatakan, Sanadnya shahih. Al-Albani menyatakan hadis ini hadis yang shahih.

Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

25 October 2017

Sejarah WALYATALATTAF Dicetak Merah


“Keadaan paling dekat seorang hamba dari rabbnya adalah ketika dia dalam keadaan sujud, maka perbanyak doa (di dalamnya).” (HR. Muslim)

Sejarah WALYATALATTAF Dicetak Merah



Asyiknya membuka lembaran demi lembaran Al Qur'an dan membaca ayat demi ayatnya. Waktu sedang asyik membaca teringat sesuatu.
"WALYATALATTAF" Tulisan yang biasanya ditulis dengan tinta merah dalam Al Qur'an. Sebagai penanda pertengahan Al Qur'an.

WALYATALATTAF yang bermakna LEMAH LEMBUT ayat ke 19 di Surat Al Kahfi. Tetapi tulisan berwarna merah ini sudah jarang kita jumpai di dalam Al Qur'an. Cetakan Al Qur'an Timur Tengah sebahagian besar WALYATALATTAF dicetak dengan warna hitam. Di Indonesia sebahagian besar dulunya WALYATALATTAF ditulis dengan tinta warna merah tetapi di Indonesia pun penulisan WALYATALATTAF sudah mulai dicetak berwarna hitam.

Tahukan saudaraku semuanya kenapa WALYATALATTAF dicetak warna merah ... ???
Ketika Utsman bin Affan ra terbunuh, simbahan darahnya mengenai mus'ab Al Qur'an tepat pada tulisan WALYATALATTAF. Maka penulisan WALYATALATTAF ditulis dengan warna merah untuk mengenang kematian Utsman bin Affan ra.

Wallahu'alam

Misteri buah khuldi

INILAH!! Misteri buah khuldi apa sebenarnya buah khuldi itu paling ampuh mudah
Misteri buah khuldi apa sebenarnya buah khuldi ituMisteri buah khuldi apa sebenarnya buah khuldi itu – Buah kuldi, hingga saat ini tentu kita masih penasaran dengan bentuk buah khuldi ini, banyak pendapat yang berbeda untuk mejelaskan buah yang terlarang ini, kali ini DUKUN-PELET.COM akan membahas mengenai buah khuldi, buat anda yang penasaran dengan buah ini, silahkan di simak artikel ini. Dukunsakti mendapatkan artikel ini dari berbagai sumber.
Misteri Buah Khuldi Berbagai agama memiliki kisah tentang Adam & Hawa yang diusir dari surga akibat memakan buah terlarang. Orang-orang berusaha menafsirkan buah apa yang dimaksud. Sampai kini, ada sekitar 11 macam buah yang diduga merupakan buah terlarang. Dari belasan buah yang menjadi spekulasi, sebagian kita kenal dengan baik dan sering kita konsumsi. Buah-buahan tersebut juga dikenal kaya nutrisi. Salah satu yang sering disebut adalah apel. Lalu buah apa lagi yang dicurigai sebagai buah terlarang?
Berikut Adalah 5 buah yang dicurigai buah yang dimakan oleh Adam & Hawa:
Buah Fig
Misteri buah khuldi apa sebenarnya buah khuldi itu ?
Nama lain fig adalah ara atau tin. Buah ini adalah salah satu yang paling sering dikaitkan dengan buah terlarang. Pasalnya, fig banyak tercantum di kitab dan beberapa kebudayaan. Para seniman juga sering menggambarkan daun yang menutupi aurat Adam & Hawa sebagai daun fig. (Fig adalah sumber tanaman yang paling kaya akan kalsium dan serat. Buah ini juga mengandung banyak antioksidan, flavonoid, dan polyphenol.)
Buah anggur
Konon, Hawa memetik buah anggur dan mengambil sarinya. Perasan anggur tersebut memiliki efek seperti wine, bisa membuat mabuk dan lupa diri. Diduga, karena buah inilah pakaian Adam & Hawa terlucuti.  (Anggur adalah buah yang kaya resveratrol. Senyawa ini dianggap mampu mencegah kanker, penyakit jantung, dan Alzheimer. Selain itu, anggur juga banyak mengandung vitamin A, C, B kompleks, K, dan karoten.)
buah tomat
Dalam beberapa bahasa Slavia, tomat disebut ‘rajcica’ atau ‘paradajz’, keduanya juga berarti surga (paradise). Sebelum abad ke-17, tomat dianggap beracun di beberapa negara Eropa. Makanya, tomat sering dikait-kaitkan dengan buah terlarang dari surga. (Tomat banyak mengandung lycopene, vitamin A, dan vitamin C. Selain baik bagi kesehatan jantung, tomat juga bisa mencegah kanker prostat.)
Buah apel
Dalam Bahasa Latin, setan dan apel punya kata yang mirip, yaitu ‘malum’ dan ‘malum’. Karenanya, apel sering dikira buah terlarang. Apalagi, dalam Bahasa Inggris jakun laki-laki disebut ‘Adam’s apple’, karena konon si buah terlarang tersangkut di tenggorokan Adam saat ditelan. (Pepatah ‘an apple a day keeps the doctor away’ menunjukkan kalau buah ini memiliki banyak khasiat bagi kesehatan. Mulai dari kanker usus, prostat, paru-paru, hingga kolesterol dan penyakit jantung bisa dicegah dengan buah yang kaya antioksidan dan serat ini.)
pohon gandum
Meski bukan buah, gandum sering disangkutpautkan dengan buah terlarang di surga. Bisa jadi anggapan ini muncul karena dalam bahasa Ibrani gandum adalah ‘khitah’, mirip dengan ‘khet’ yang berarti dosa. Selain itu, konon dulunya gandum setinggi pohon palem dengan biji seukuran ginjal banteng besar. Karena ‘buah’ terlarangnya dimakan manusia, pohonnya dikutuk menjadi kecil seperti sekarang. (Gandum menjadi bahan dari makanan pokok masyarakat dunia. Ada banyak makanan yang bisa dihasilkan dari biji-bijian ini, di antaranya roti dan pasta. Karena kaya karbohidrat, makanan berbahan gandum dapat menjadi sumber energi untuk beraktivitas.)
Penjelasan Ilmiah :
Mari kita simak informasi Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Thaahaa (20): 121-122: “Maka keduanya memakan dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupi dengan daun-daun surga, Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Tuhan memilihnya maka Dia menerima taubatnya Dan memberi petunjuk.”
Buah Khuldi dianggap sebagai biang keladi turunya Adam dan Hawa dari surga. Seandainya, Adam dan Hawa tak makan buah khuldi, niscaya mereka tidak akan diusir dari surga. Dan kita, semua keturunan adam, masih tetap tinggal di surga dengan segala kenikmatannya. Sampai kini.
Begitulah keyakinan sebagian besar kita tentang peristiwa di sekitar turunya Adam dan Hawa dari surga, Setan menggunakan buah khuldi itu menyesatkan Adam dan Hawa, agar membangkang perintah Allah SWT. Ada beberapa kontroversi yang muncul diseputar turunya Adam dan Hawa dari surga itu. Diantaranya, adalah tentang buah khuldi yang ternyata tidak disebut secara eksplisit oleh Allah.
Allah hanya menyebut pohon tersebut secara sepintas selalu, tanpa menyebut nama. Nama ‘buah khuldi’ justru muncul dari istilah setan ketika merayu Adam dan Hawa untuk memakannya. Itu pun tidakn secara eksplisit menyebut buah. Mealinkan menyebut syajaratul khuldi alias ‘pohon keabadian’.
Demikian ulasan Agus Mustofa dalam bukunya: Adam Tak Diusir dari Surga. Pohon keabadian itulah yang memunculkan istilah buah khuldi. Padahal, kata ‘buah’ pun secara eksplisit tidak disebut dalam Al-Qur’an. Allah hanya mengatakan, Adam dan Hawa memakan bagian dari pohon itu. Cuma karena kebiasaannya yang dimakan adalah buah, maka kebanyakan kita mempersepsikan sebagai buah khuldi. Di kalangan kawan-kawan yang beragama Nasrani digambarkan sebagai buah Apel.
Sebenarnya kalau kita cermati substansinya ayat-ayat yang terkait dengan pohon khuldi, bentuk fisiknya tidaklah menjadi masalah penting. Yang lebih penting adalah ‘larangan’ Allah untuk mendekati pohon itu. Terbukti, Allah tidak menyebut nama pohon, kecuali hanya menyinggung sepintas dengan sebutan ‘pohon ini’ (haadzihis syajarat). Dan bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Termasuk setan pun hanya menyebut dengan ‘pohon ini’.
Munculnya istilah pohon khuldi itu, sekali lagi, karena kita sendiri yang menamakannya. Berdasarkan ‘rayuan setan’ kepada Adam. Yang menarik, larangan Allah kepada Adam untuk mendekati pohon itu adalah karena Allah tidak menginginkan Adam menjadi orang yang zalim.
Jadi, kunci pemahaman atas pohon khuldi itu sebenarnya adalah kata ‘zalim’. Bahwa, jika Adam dan Hawa mendekati atau apalagi memakannya, mereka bakal menjadi orang yang zalim. Dengan kata lain agar kita bisa memahami substansi pohon larangan itu, kita harus memahami makna kata zalim.
Kata zalim di dalam Al-Qur’an diulang-ulang oleh Allah dalam ratusan ayat. Tak kurang dari 200 ayat, dengan segala variasinya. Makna yang paling dominan adalah ‘melanggar perintah Allah’, kemudian diikuti dengan arti yang hamper sama seperti ‘menyekutukan Allah’, mengikuti yang selain Allah. Berbuat tanpa petunjuk Allah, kemudian diikuti dengan arti yang hampir sama seperti ‘menyekutukan Allah’, ‘mengikuti yang selain Allah’. ‘Berbuat tanpa petunjuk Allah’, ‘menentang himbauan Allah’, ‘mendustakan allah’, dan sebagainya.
Di ayat lain lagi Allah memberikan gambaran bahwa orang-orang zalim itu adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya tanpa memiliki ilmu pengetahuan tentangnya. Mereka adalah termasuk orang-orang yang tersesat dan tidak memperoleh petunjuk dari Allah.
Jadi substansi pohon larangan itu sebenarnya adalah uji ketaatan Adam dan Hawa. Fisik benda yang dilarang tidaklah menjadi hal penting, sebagimana tersirat dari cara Allah bercerita, yang tanpa menyinggung langsung materinya. Yang lebih penting adalah bahwa Allah menguji dengannya, apakah Adam dan Hawa termasuk orang-orang yang taat kepadaNya.
Ketika Adam dan Hawa diperintahkan untuk tinggal di surga, Allah memberikan fasilitas kenikmatan sesuai dengan kebutuhan dasar hidup mereka. Yaitu makanan, minuman dan pasangan hidup. Sambil, Allah menguji mereka apakah fasilitas kehidupan surga itu membuat mereka lupa atau tidak. Allah hanya memberikan satu larangan saja, yang disimbolkan sebagai ‘pohon’.
Pohon itu menyimpulkan dua hal sekaligus. Yaitu makanan dan aurat. Karena itu perintah-Nya dikaitkan dengan kedua hal sekaligus. Awalnya, Allah mengatakan Adam dan Hawa boleh memakan apa saja yang ada di dalam surga, kecuali pohon itu. Allah memberikan gambaran tidak langsung bahwa larangan itu berkaitan dengan makanan.Dan pada cerita selanjutnya, dikatakan bahwa memakan sebagian pohon itu bisa menyebabkan auratnya terbuka. Menyiratkan, bahwa pohon itu tidak hanya mewakili larangan terhadap makanan, melainkan juga simbol hawa nafsu yang tersimpan di dalam diri setiap manusia.
Allah menegaskan bahwa di surga itu Adam dan Hawa tak akan kekurangan apa-apa selama masih berada di dalamnya mereka dijamin tidak akan kekurangan makanan, minuman, atau pun pakaian. Mereka tidak akan telanjang. Juga tidak kepanasan. Artinya dari segi fasilitas, semuanya ada.
Maka, ketika Adam dan Hawa terbuka auratnya karena memakan pohon khuldi, tentu saja itu bukan karena di dalam surga sudah tidak ada fasilitas pakaian. Bukan. Tetapi lebih dikarenakan terjadi ‘transformasi kesadaran’di dalam diri mereka tentang makna aurat.
Sebelum memakan pohon khuldi itu pemahaman mereka tentang aurat tidak sama dengan sesudah memakannya. Karena itu kalimat yang bercerita tentang aurat mereka itu bukan berbunyi “terbukalah” aurat mereka malainkan “tampaklah” begi keduanya aurat-auratnya. Hal ini menujukkan bahwa itu bukan proses fisik belaka, melainkan lebih bersifat transformasi kesadaran akan makna aurat. Tadinya tidak tampak, sekarang menjadi tampak. Adam menjadi ‘melihat’ aurat Hawa. Demikian pula sebaliknya, Hawa menjadi bisa ‘melihat’ aurat Adam. Padahal, tadinya mereka tidak melihatnya sebagai aurat.
Jadi, hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa keterbukanya aurat Adam dan Hawa itu lebih kepada keterbukaan persepsi mereka atas sesuatu yang memalukan, sesuatu yang seharusnya disembunyikan kepada lawan jenisnya. Adam menjadi malu kepada Hawa, dan Hawa demikian pula sebaliknya. Sehingga mereka menutupinya dengan daun-daun surga.

MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله)

MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله)

            لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang sangat akrab dengan kita, bahkan kalimat inilah yang kita jadikan sebagai panji tauhid dan identitas keislaman. Kalimat ini sangat mudah diucapkan, namun menuntut adanya sebuah konsekuensi yang amat besar. Oleh karena itu, Allah gelari kalimat ini sebagai “Al ‘Urwatul Wutsqo” (buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus), sebagaimana dalam firman-Nya:
{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 256]
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (segala apa yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada Al ‘Urwatul Wutsqo (buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)
            Memahami makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله    merupakan perkara yang diwajibkan oleh Allah atas setiap muslim, sebagaimana dalam firman-Nya:
{فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ} [محمد: 19]
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Al-Imam Al-Biqo’i berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) ‘Laa ilaaha illallah’ (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat.
            لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna:
–   لاَ (Laa)     : Tidak ada, atau tiada
–   إله (Ilaaha) :  اَلإلَهُ  adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri.
 Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi)
–   إلاَّ  (illa)   : Kecuali, atau melainkan
–   الله (Allah)   : Ibnu Abbas berkata: Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadah atas seluruh makhluk-Nya.
             Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah
 لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله
“Tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata.
لاَإِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala apa yang diibadahi selain Allah,
 إِلاَّ الله  sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah ini, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.”
            Dari penjelasan di atas ada suatu permasalahan yang menarik untuk dibahas, yaitu: yang berkaitan dengan makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله  itu sendiri, dimana   muncul   suatu tanda tanya:
 Mengapa tidak dimaknakan dengan
 لاَ إِلهَ مَوْجُوْدٌ إلاَّ الله  “Tiada ilah yang ada melainkan Allah?”
atau لاَ خَالِقَ إلاَّ الله  “Tiada Pencipta melainkan Allah?”
 Adapun yang pertama, mengapa tidak dimaknakan dengan
لاَ إِلهَ مَوْجُوْدٌ إلاَّ الله  “Tiada ilah yang ada melainkan Allah?”
Maka jawabnya adalah, karena di alam semesta ini banyak benda/makhluk yang diibadahi selain Allah, seperti pohon, batu, manusia dan lain sebagainya. Itu semua disebut sebagai ilah. Sehingga secara fakta ilah lain selain Allah itu ada, namun itu batil, yakni mereka tidak berhak dijadikan ilah, mereka dijadikan ilah dengan cara yang batil. Maka segala sesuatu selain Allah yang diibadahi (dijadikan ilah) adalah batil. Adapun yang berhak dijadikan ilah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya.
 Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
{ ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير} [الحج: 62]
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq (Ilah yang sebenarnya, yang wajib diibadahi), dan sesungguhnya apa saja selain Allah yang mereka seru (ibadahi) itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. Al-Hajj : 62)
 Maka meninjau dari pengertian di atas, maka tidak tepat jika لاَ إِلهَ إِلاَّ الله  dimaknakan
 لاَ إِلهَ مَوْجُوْدٌ إلاَّ الله  “Tiada ilah yang ada melainkan Allah?”
Karena faktanya ilah lain selain Allah itu ada, namun mereka itu batil. Oleh karena itu makna yang tepat adalah :
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله
“Tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata.
 Tidak pula dimaknakan dengan           لاَ خَالِقَ إلاَّ الله  “Tiada pencipta melainkan Allah”,
 Memang benar, bahwa tiada Pencipta kecuali hanya Allah saja. Ini keyakinan yang wajib diimani oleh seorang muslim. Namun menjadikan “Tiada pencipta melainkan Allah” sebagai makna lailaha illallah adalah tidak tepat.
 Karena makna إله dalam syahadat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ini bermakna مَأْلُوْهٌ yang artinya مَعْبُوْدٌ  (yang diibadahi), bukan Pencipta, sebagaimana yang telah lalu dari penjelasan para ulama.
 Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala  telah menyebutkannya dalam banyak ayat-Nya bahwa makna ilah adalah ma’bud (yang berhak diibadahi), seperti firman-Nya :
 {أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ} [هود: 2]
“Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah.” (Q.S. Huud:2)
 Perhatikan, Allah menafsirkan lailaha illallah, dengan tidak beribadah kecuali kepada Allah. Maka dari sini kita memahami dua hal
– ilah bermakna ma’bud (yang diibadahi)
– Kalimat lailaha illallah adalah meniadakan peribadatan kepada selain Allah, dan menetapkan peribadatan hanya kepada Allah saja. Jadi tidak benar jika lailaha illallah dimaknakan dengan “Tiada pencipta melainkan Allah”.
 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27)} [الزخرف: 26، 27]
“Sesungguhnya aku (Ibrohim) berlepas diri dari apa yang kalian ibadahi kecuali Dzat yang telah menciptakanku (Allah).” (Q.S. Az Zukhruf: 26-27)
 Perhatikan, pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sikap Nabi Ibrohim ‘alaihis salam sebagai bentuk realisasi kalimat tauhid lailaha illallah, yaitu sikap berlepas diri dari segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, dan menetapkan hak ibadah tersebut hanya untuk Allah semata. Jadi tidak benar jika lailaha illallah dimaknakan dengan “Tiada pencipta melainkan Allah”
 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
{أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا} [آل عمران: 64]
“Agar kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (Q.S. Ali Imron: 64)
Sekali lagi, makna lailaha illallah adalah tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Maka tidak benar jika lailaha illallah dimaknakan dengan “Tiada pencipta melainkan Allah”
Ayat-ayat di atas merupakan tafsiran dari kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله dan terkhusus lafadz إله yang darinya diketahui bahwa ia bermakna: مَعْبُوْدٌ “yang diibadahi” bukan bermakna “Pencipta”.
 Kemudian, bila kita tinjau keadaan orang-orang musyrik Quraisy yang saat itu enggan bahkan menentang untuk mengucapkan لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهniscaya kita mendapati bahwa mereka telah berikrar bahwa Allahlah yang menciptakan mereka. Allah U berfirman:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ} [الزخرف: 87]
“Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab: “Allah.” (Q.S. Az Zukhruf: 87)
 Kalau seandainya yang dimaukan dari kalimat  لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ  tersebut suatu ikrar bahwa Allah adalah pencipta, maka tentunya tidak akan ada permusuhan antara mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam , dan tidak akan pula mereka dinyatakan sebagai orang-orang musyrik.
Namun disaat kalimat tauhid ini berkonsekuensi untuk meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang diibadahi, maka terjadilah apa yang terjadi antara Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan kaum Quraisy, bahkan antara para rasul sebelumnya dengan kaum mereka masing-masing. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :
{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36)} [الصافات: 35، 36]
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan (kepada mereka): لاَ إِلهَ إِلاَّ الله (tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri dan mereka berkata: “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) kami karena seorang penyair gila?” (Q.S. Ash Shooffaat: 35-36)
Dia juga berfirman (tentang ucapan orang-orang kafir):
{ أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ} [ص: 5]
“Mengapa ia (Rasul) menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) yang banyak itu menjadi satu ilah saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Q.S. Shaad: 5)
 Yakni kaum musyrikin Quraisy tidak setuju dengan dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam untuk meninggalkan ilah-ilah yang banyak, yaitu batu, pohon, kuburan, berhala, para wali yang mereka jadikan ilah (mereka ibadahi) – yang jumlah ilah mereka sangat banyak maka itu semua harus ditinggalkan, dan hanya beribadah kepada satu ilah saja, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 Kaum Quraisy enggan dan menolak makna ini, sementara kaum mukminin yang beriman kepada menerima sepenuhnya makna ini. Maka kaum Quraisy adalah musyrikin dan kafir, dan kaum mukminin adalah para muslimin sekaligus muwahhidin (orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah dengan bertauhid kepada-Nya).
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا} [النساء: 125]
“Siapakah yang lebih baik agama-Nya daripada orang-orang yang berislam (menyerahkan) wajahnya hanya kepada Allah, dan mereka itu berbuat ihsan (mengikuti Rasulullah dalam amalnya) dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus.” (An-Nisa’ : 125)
 Dari sini jelaslah bahwa makna syahadat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله  adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله  , tidak selainnya.
 Demikianlah penjelasan dari kami seputar makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله , semoga bahasan yang relatif singkat ini dapat membantu kita semua di dalam memahami kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
MUTIARA HADITS SHAHIH
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu  bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, siapakah yang paling bahagia untuk mendapatkan syafa’atmu?
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam  menjawab:
مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“ (yaitu): Barangsiapa yang mengucapkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله dalam keadaan ikhlash (bersih dari berbagai kesyirikan) keluar dari lubuk hatinya. (H.R Al Bukhari dan yang lainnya)

AWAS! JANGAN DEKATI ZINA

AWAS! JANGAN DEKATI ZINA!


AWAS! JANGAN DEKATI ZINA!

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)
Penjelasan makna ayat
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Dan janganlah kalian mendekati zina.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457)
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dosa yang sangat besar.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah subhanahu wata’ala menyifati perbuatan ini dan mencelanya karena ia (فَاحِشَةً) adalah perbuatan keji.
Maksudnya adalah dosa yang sangat keji ditinjau dari kacamata syariat, akal sehat, dan fitrah manusia yang masih suci. Hal ini dikarenakan (perbuatan zina) mengandung unsur melampaui batas terhadap hak Allah dan melampaui batas terhadap kehormatan wanita, keluarganya dan suaminya. Dan juga pada perbuatan zina mengandung kerusakan moral, tidak jelasnya nasab (keturunan), dan kerusakan-kerusakan yang lainnya yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457)
وَسَاءَ سَبِيلًا
dan (perbuatan zina itu adalah) suatu jalan yang buruk.
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, ”Dan zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam.” (Tafsir Ath-Thabari, 17/438)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan lafazh ayat (yang artinya) ”suatu jalan yang buruk” dengan perkataannya, ”Yaitu jalannya orang-orang yang berani menempuh dosa besar ini.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457)
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala mengabarkan tentang akibat perbuatan tersebut. Bahwasannya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan. Karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 206)
Hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan zina
Islam adalah agama rahmatan lil ’alamin. Islam menutup rapat-rapat semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan dan kebinasaan. Atas dasar ini, disaat Allah subhanahu wata’ala melarang perbuatan zina, maka Allah subhanahu wata’alamelarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Disebutkan dalam kaedah fiqih:
وَسَائِلُ اْلأُمُورِ كَالْمَقَاصِدِ
Perantara-perantara seperti hukum yang dituju.
Zina adalah perbuatan haram, maka semua perantara/wasilah yang dapat mengantarkan kepada zina juga haram hukumnya. Diantara perkara yang dapat mengatarkan seseorang kepada zina adalah:
1.   Memandang wanita yang tidak halal baginya
Penglihatan adalah nikmat Allah subhanahu wata’ala yang sejatinya disyukuri hamba-hambanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): ”Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Justru digunakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Untuk melihat wanita-wanita yang tidak halal baginya. Terlebih di era globalisasi ini dengan segenap kecanggihan teknologi dan informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, seperti internet, televisi, handphone, majalah, koran, dan lain sebagainya, yang notabene-nya menyajikan gambar wanita-wanita yang terbuka auratnya. Dengan mudahnya seseorang menikmati gambar-gambar tersebut. Sungguh tak sepantasnya seorang hamba yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu.
Pandangan adalah sebab menuju perbuatan zina. Atas dasar ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): Katakanlah (wahai nabi), kepada laki-laki yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka.” (An-Nur: 30-31)
Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari: zina, homosex, lesbian, dan agar tidak tersingkap serta terlihat manusia(Lihat Adhwa’ Al-Bayan, Al-Imam Asy-Syinqithi 6/126)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: ”Ini adalah perintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari apa yang diharamkan. Maka janganlah mereka memandang kecuali kepada apa yang diperbolehkan untuk dipandangnya. Dan agar mereka menjaga pandangannnya dari perkara yang diharamkan. Jika kebetulan pandangannya memandang perkara yang diharamkan tanpa disengaja, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku bertanya kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/399)
Manakala perbuatan zina bermula dari pandangan, Allah subhanahu wata’ala menjadikan perintah menahan pandangan lebih dikedepankan ketimbang menjaga kemaluan. Karena semua kejadian bersumber dari pandangan. Sebagaimana api yang besar bermula dari api yang kecil. Bermula dari pandangan, lalu terbetik di dalam hati, kemudian melangkah, akhirnya terjadilah perbuatan zina. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 207)
2.    Menyentuh wanita yang bukan mahramnya
Menyentuh wanita yang bukan mahram adalah perkara yang di anggap biasa dan lumrah ditengah masarakat kita. Disadari atau tidak, perbuatan tersebut merupakan pintu setan untuk menjerumuskan anak Adam kepada perbuatan fahisyah (keji), seperti zina. Oleh karena itu, Islam melarang yang demikian itu, bahkan mengancamnya dengan ancaman yang keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لأَنْ يَطْعَنَ فيِ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
”Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Hadits tersebut juga sebagai dalil tentang haramnya berjabat tangan dengan wanita (yang tidak halal baginya). Dan sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini terjerumus dalam masalah ini. (Lihat Ash-Shahihah, no. 1/395)
Dalam hadits lain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina akan diperoleh hal itu tidak mustahil. Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram). Kedua telinga zinanya adalah mendengarkan (yang haram). Lisan zinanya adalah berbicara (yang haram). Tangan zinanya adalah memegang (yang haram). Kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang diharamkan). Sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, sedang kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
3.    Berkhalwat (berduaan) di tempat sepi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dalam haditsnya yang agung:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
”Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Betapa banyak orang yang mengabaikan bimbingan yang mulia ini, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kita berlindung kepada-Nya dari perbuatan tersebut.
Ber-khalwat (berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya adalah haram. Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya kecuali ketiganya adalah setan. Apa dugaan anda jika yang ketiganya adalah setan? Dugaan kita keduanya akan dihadapkan kepada fitnah. Termasuk berkhalwat (yang dilarang) adalah berkhalwat dengan sopir. Yakni jika seseorang mempunyai sopir pribadi, sementara dia mempunyai istri atau anak perempuan, tidak boleh baginya membiarkan istri atau anak perempuannya pergi berduaan bersama si sopir, kecuali jika disertai mahramnya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, 6/369)
4. Berpacaran
Berpacaran adalah suatu hal yang lumrah di kalangan muda-mudi sekarang. Padahal, perbuatan tersebut merupakan suatu perangkap setan untuk menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam perbuatan zina.
Dalam perbuatan berpacaran itu sendiri sudah mengandung sekian banyak kemaksiatan, seperti memandang, menyentuh, dan berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, yang notabene merupakan zina mata, lisan, hati, pendengaran, tangan, dan kaki.
Itulah diantara hal-hal yang dapat mengantarkan anak cucu Adam kepada perbuatan zina. Barangsiapa menjaganya, selamatlah agamanya, insya Allah. Sebaliknya, barangsiapa lalai dan menuruti hawa nafsunya, kebinasaanlah baginya. Kita berlindung kepada Allah  dari kejelekan diri-diri kita. Amin.
Kerusakan yang disebabkan perbuatan zina
Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina adalah termasuk kerusakan yang sangat berat. Diantaranya adalah merusak tatanan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan) maupun penjagaan kehormatan, dan menyebabkan permusuhan diantara sesama manusia.
Al Imam Ahmad rahimahullah berkata: ”Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina.” Kemudian beliau v menyebutkan ayat ke-68 sampai ayat ke-70 dari surat Al Furqan. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi, hal 207)
Nasehat untuk kaum muslimin
Para pembaca yang kami muliakan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati seorang hamba, itu semua akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak. Yang pada hari itu anggota badan seorang hamba; tangan, kaki, dan kulit akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka perbuat. Manusia adalah tempat kesalahan dan dosa. Semua anak cucu Adam pernah berbuat kesalahan. Sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang paling cepat bertaubat.
Tolak ukur kebaikan seorang hamba bukanlah terletak pada pernah atau tidaknya dia berbuat kemaksiatan. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah orang yang segera bertaubat manakala berbuat kemaksiatan, serta tidak terus menerus berada dalam kubangan kemaksiatan.
Segeralah bertaubat, wahai hamba-hamba Allah, sebelum ajal menjemputmu! Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (An-Nisaa’: 17-18)
Wallahu a’lam bishshowab.